TEMPO Interaktif, Jakarta – Korea Selatan meminta dukungan Indonesia untuk mencalonkan menjadi ketua The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) dan tuan rumah penyelenggaraan konvensi pada 2012.
Korea juga mengajak Indonesia berbagi pengalaman karena Indonesia pernah duduk menjadi ketua. Korea mengaku siap dengan sejumlah konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan. “Ada permintaan dukungan secara spesifik, Korsel menyatakan kesiapannya dan berbagai upaya yang siap dilakukan,” kata Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah usai mendampingi Presiden menerima utusan khusus Presiden Korea Selatan di Kantor Presiden, Rabu 30 Maret 2011.
Presiden Yudhoyono menerima utusan khusus Presiden Korea Selatan, Han Seung Soo yang sebelumnya menjabat sebagai perdana menteri Korea Selatan sejak tahun 2008. Kedatangan Han Seung khusus untuk membawa satu surat dari Presiden Lee Myung Bak yang diberikan secara langsung kepada presiden RI. Dalam kesempatan itu, Presiden Yudhoyono didampingi Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta.
Faizasyah memaparkan ada dua negara yang akan mencalonkan diri menjadi ketua United Nations Framework Convention on Climate Change, yaitu Korea Selatan dan Qatar. Sejak 2006, Indonesia pernah menjadi mediator pencalonan kedua negara dan belum ada titik terang dalam pelaksanaannya.
Meski Indonesia belum bersikap soal dukungan itu. Presiden Yudhoyono menanggapi secara positif permintaan dan penyampaian dari pihak Korea Selatan. Pemerintah Korea memiliki banyak kesamaan dengan prioritas pemerintah saat ini. “Saya garisbawahi di sini kita belum pernah memberikan satu statement dukungan kepada satu negara, apakah itu Qatar. Namun dari pembahasan tadi banyak hal positif yang dapat kita simak terkait dengan kesiapan Korsel,” katanya.
Jika Korea akan maju, Presiden Yudhoyono mengingatkan faktor kepemimpinan penting sekali dalam membawa perbaikan. Hal itu berkaitan Indonesia yang berpengalaman melahirkan Bali Plan of Action, road map ke depan. Faizasyah mengakui dalam satu tahun ke depan adalah masa yang kritis, kritis bukan dalam arti negatif, tapi satu masa yang perlu diisi dengan satu komitmen baru karena Kyoto Protocol sudah akan berhasil.
Bali Road Map, kata dia, masih terus dinegosiasikan, jadi perlu satu negara yang bisa memiliki satu kepemimpinan yang kuat yang memiliki komitmen terhadap masalah lingkungan dan memiliki semacam visi ke depan. “Yang penting, bagaimana merumuskan Bali Road Map dalam satu kerangka kerjasama yang bisa diterima negara parties, negara anggota UNFCC. Kita melihat Korsel memiliki kapasitas untuk itu,” katanya.
Indonesia, kata Faizasyah, juga tetap akan berusaha, dengan berbagai lobi. Indonesia memiliki kapasitas, karena telah membawa anggota lain menyepakati agenda yang di Copenhagen tidak berhasil dilakukan. “Di Mexico sendiri ada hasil, tapi sekarang kepemimpinan beralih ke negara asia, bagaimana asia memainkan satu peranan, Indonesia siap berkontribusi dan memastikan keberhasilan keketuaan apabila ternyata dukungan terhadap Korsel meluas,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Faizasyah menambahkan, pertemuan juga membahas kerja sama Korsel dengan Pemerintah Provinsi Kalimatan Tengah dalam konteks reduction emission for deforestation and destruction (REDD). Menurut Faizasyah, itu proyek kerja sama rintisan dengan skema untuk mengurangi emisi. “Ada satu institut yang dikembangkan di Korsel bernama Double Green Growth Institute, mereka akan aplikasikan apa yang mereka pelajari dan kembangkan dalam kerjasama dengan Kaltim,” ujarnya.
Kerjasama yang direncanakan juga beragam, seperti bagaimana melestarikan hutan yang diimbangi penyediaan lapangan kerja. Agar masyarakat di daerah bisa jadi bagian pelestarian lingkungan. “Sehingga komitmen kita untuk tidak melakukan deforestation bisa diimplementasikan,” katanya.
Cre : EKO ARI WIBOWO @ tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar